Wednesday, November 26, 2008

Paris van Djokdja

Paris van Djokdja

Ternyata tak sedikit daerah di Yogyakarta yang memiliki nama sama dengan daerah atau kota lain di dalam dan luar negeri. Seluruhnya adalah hasil proses penamaan yang cukup unik, bisa didasarkan pada sesuatu yang menonjol di daerah tertentu sehingga secara kebetulan sama dengan daerah lain, bisa pula dilakukan oleh generasi muda Yogyakarta dengan menyingkat nama sebenarnya sehingga menjadi semacam nama gaul.

Sebut saja dusun Bandung, daerah di Playen, Kabupaten Gunung Kidul yang bernama sama dengan Bandung, ibu kota Propinsi Jawa Barat. Dusun itu dinamai berdasarkan adanya sebuah pemandian bernama Sendang Bandung yang konon airnya dibawa dari Laut Selatan oleh Nyai Andansari. Di sana, anda tak akan menemukan peyem (ketela utuh yang diragi menjadi tape) seperti di kota Bandung, namun di waktu tertentu akan menjumpai serabi kocor (makanan dari tepung beras berkuah air gula jawa).

Ada lagi daerah Kuningan yang terletak dekat dengan Jalan Colombo, sebelah timur Bunderan Universitas Gadjah Mada. Daerah itu unik, karena tidak saja memiliki kesamaan nama dengan kota Kuningan di Jawa Barat, tetapi juga banyak didiami oleh orang-orang dari kota bernama sama tersebut. Umumnya, orang-orang Kuningan Jawa Barat yang tinggal di Kuningan Yogyakarta membuka warung burjo (bubur kacang ijo) yang menjadi langganan mahasiswa kos-kosan di kota pelajar ini.

Masih ada Depok, sebuah daerah di sekitar ring road timur Yogyakarta yang namanya sama dengan Kotamadya Depok, daerah di sebelah timur Jakarta. Keduanya sama-sama menjadi kompleks kampus. Jika Depok sebelah Jakarta menjadi kompleks kampus Universitas Indonesia dan Gunadarma, maka Depok di Yogyakarta menjadi kompleks kampus Universitas Pembangunan Nasional, Universitas Proklamasi 45 dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Bila berbicara nama gaul suatu daerah yang lahir dari penyingkatan nama sebenarnya, maka yang paling terkenal adalah Paris. Bukan menunjuk pada Paris ibu kota Perancis yang menjadi kiblat mode dunia, tetapi Paris yang merupakan singkatan Parangtritis, pantai di selatan Yogyakarta yang terkenal dengan ombaknya yang besar. Paris Yogyakarta menawarkan pemandangan laut yang indah serta kenikmatan menyusuri pantai dengan menunggang kuda, pengalaman yang tak kalah menarik dengan memandang menara Eiffel.

Daerah lain yang dinamai dengan proses serupa menurut data YogYES adalah Pasar Kembang yang sering juga disebut Pakistan, singkatan dari Pasar Kidul Stasiun sebab berada di sebelah selatan Stasiun Tugu Yogyakarta. Daerah bernama sama dengan sebuah negara di sebelah barat India itu menawarkan penginapan dengan harga terjangkau dan gang sempit yang siap menggoda iman setiap lelaki yang melewatinya. Anda pun bisa langsung menuju Malioboro dan Sosrowijayan untuk memulai petualangan wisata yang lain dari daerah ini.

Bila mengelilingi Yogyakarta, anda mungkin akan menemukan beberapa daerah dengan nama yang sama. Jetis misalnya, tak hanya ada di utara Tugu tetapi juga ada di Kabupaten Bantul. Sementara Pathuk bukan hanya tempat penjualan bakpia, tetapi juga sebuah bukit di Jalan Wonosari. Bagaimana, penasaran untuk mengelilingi semua daerah itu? Tentu anda akan menemukan banyak hal menarik jika sampai di sana.

Prasasti Jawa Cina, Ucapan Terima Kasih Pada Penguasa Bijaksana


Prasasti Jawa Cina, Ucapan Terima Kasih Pada Penguasa Bijaksana

Bagaimana cerita hubungan etnis Cina yang menetap dan telah memiliki kewarganegaraan Indonesia dengan Kraton beberapa dekade silam? Banyak orang telah mengurainya, mulai saat pertama kali bangsa Cina berdatangan untuk berdagang sebelum abad ke-15, pada awal abad ke-19 hingga masa Perang Dunia II, sampai masa awal orde baru dan pasca orde baru. Namun, kalau bicara soal bukti, terlebih berupa prasasti yang dibuat pada abad 20, sepertinya sulit ditemui di wilayah lain di luar Yogyakarta.

Di Yogyakarta, anda bisa menemui prasasti itu, yang menyimbolkan betapa baiknya hubungan etnis Cina yang tinggal di Indonesia dan warga Yogyakarta, terutama keluarga Kraton. Tempat anda bisa menemukannya adalah di Tepas Hapitopuro, belakang Bangsal Traju Mas, persis di tengah-tengah Kraton. Anda bisa menemuinya dengan masuk wilayah Kraton melalui Kraton Keben dengan membayar tiket masuk sebesar Rp 5.000,00, ditambah Rp 1.000,00 jika ingin mendokumentasikan dengan kamera.

Prasasti Jawa Cina itu berbentuk segi empat dengan tinggi 100 cm dan lebar 80 cm. Tertulis pada prasasti tersebut tanggal pembuatannya, yaitu Tahun Cina Min Khuo 29, bulan 3, hari ke 18 atau 1942 M. Pada prasasti itu pula terukir candrasengkala berbunyi "Jalma Wahana Dirada Hing Wungkulan" yang berarti manusia naik gajah di atas benda bundar, menunjukkan pembuatannya pada tahun Jawa 1871. Catatan juga menunjukkan bahwa batu prasasti itu didatangkan langsung dari Cina pada tahun 1940.

Meski hanya batu kecil yang terletak di belakang bangunan bangsal yang besar, namun prasasti itu menyimpan banyak cerita seputar kehidupan masyarakat Jawa, Cina, Jepang, Belanda dan Indonesia pada rentang waktu prasasti itu dibuat. Prasasti itu merupakan wujud rasa terima kasih warga etnis Cina pada keluarga Kraton karena selama ratusan tahun telah memberikan perlindungan dan rasa aman.

Cerita pertama, prasasti yang pembuatannya diprakarsai oleh delapan warga Cina, dipimpin oleh Lie Ngo An sebagai ketua masyarakat Tionghoa Yogyakarta itu menjadi saksi sejarah penyerbuan pasukan Jepang secara mendadak ke wilayah Cina. Pengiriman batu bahan dasar prasasti yang dijadwalkan sampai dengan segera menjadi terlambat karena banyak warga Cina panik akibat penyerbuan Jepang dan transportasi terganggu. Namun, meski pengirimannya terlambat, prasasti itu sebenarnya tetap bisa diserahkan tepat pada waktunya, saat penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Penyebab terlambatnya penyerahan prasasti adalah cerita lainnya. Saat itu, pasukan Jepang yang semula menyerbu Cina, dikerahkan untuk menyerbu wilayah-wilayah Jawa, termasuk Yogyakarta. Tahun-tahun setelah penyerbuan Jepang itu juga diisi oleh berbagai momen besar seperti pendudukan Jepang di Indonesia, Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dan perang dalam rangka mempertahankan kemerdekaan. Akhirnya, penyerahan prasasti itu tertunda selama 12 tahun, tersimpan di Rumah Liem Ing Hwie, salah satu pemrakarsa pembuatannya.

Prasasti yang semula direncanakan sebagai ucapan terima kasih itu bertambah makna menjadi peringatan pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, sebab diserahkan pada tanggal 18 Maret 1952, tepat pada peringatan 12 tahun bertahtanya Sultan HB IX. Saat itu pun, hanya lima dari delapan pemrakarsa yang bisa hadir, sebab tiga lainnya sudah meninggal dunia. Adapun pemrakarsanya selain Liem Ing Hwie dan Lie Ngo An adalah Dr Sim Kie Ay, Ir Liem Ing Hwie, Lie Gwan Ho yang merupakan pemilik toko jam, Tan Ko Liat, Sie Kee Tjie dan Tio Poo Kia, serta Oen Tjoen Hok yang mengelola Restoran Oen, salah satu restoran legendaris di Indonesia.

Ungkapan terima kasih etnis Cina itu tertulis secara eksplisit dalam bait tembang kinanthi berbunyi "mangkya kinertyeng sela mrih, enget salami-laminya, rat raya masih lestari" yang berarti "maka kami memahat batu peringatan ini dengan maksud mengucapkan terima kasih untuk selama-lamanya".